HALAMAN

Minggu, 05 Oktober 2014

Kalau kita berbeda, lantas kenapa???

Negeri kita tercinta sungguh telah mendunia dengan keberagaman yang ada di dalamnya. Berbagai macam suku, agama, ras, dan kepercayaan, semuanya lengkap untuk dijumpai di sini. Bangsa yang ramah memang telah menjadi image bagi bangsa Indonesia, sayangnya kerap kali beberapa gelintir orang yang mengatasnamakan suatu golongan justru merusak citra Indonesia di mata dunia.

Belum lama ini, seorang lurah di Jakarta Selatan pun terpaksa didemo oleh sekolompok orang yang mengatasnamakan golongan tertentu, meminta mundur ibu lurah karena memiliki perbedaan agama dengan mayoritas masyarakat sekitar.
Peristiwa yang terakhir pun nyaris sama, wakil gubernur Jakarta yang akan naik menggantikan Sang Gubernur karena Gubernur akan naik tahta menjadi presiden pun menjadi bulan-bulanan pendemo untuk segera turun dengan alasan perbedaan agama.
Barangkali di tempat lain pun masih banyak kejadian serupa, namun tidak terekspos media. Namun tidak kalah sedikit pun, di lain tempat, masih banyak masyarakat yang "open minded" terhadap sebuah perbedaan & tidak menjadikan perbedaan itu menjadi sebuah masalah & hambatan untuk sebuah keharmonisan hidup yang berdampingan.

Layaknya sebuah iklan di televisi, perbedaan itu seperti air dan minyak, keduanya tidak bisa bersatu, tapi bisa hidup berdampingan. Slogan seperti itu rasa-rasanya baik untuk terus ditumbuhkembangkan di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia. Benturan antar sesama memang tidak bisa dihindari, tapi bukan berarti harus bermatirasa untuk membenci sebuah perbedaan.

Para generasi muda memang harus selalu ditanamkan untuk menyayangi sesamanya meskipun perbedaan melingkupi sekitarnya. Jangan sampai tontonan di televisi yang tidak dapat menerima perbedaan itu merusak pikiran para kaum muda untuk mencotohnya.
Murid saya pun harus selalu saya sisipkan nilai-nilai moral kehidupan dalam setiap pelajaran saya. Sebab kalau bukan berasal dari diri sendiri, lantas siapa lagi?? Karena kerap kali pelajaran pun hanya sekedar "text book" yang melupakan pelajaran akan nilai-nilai kehidupan yang begitu kompleks.
Masih saya jumpai beberapa murid saya pun kurang bisa menerima sebuah perbedaan, dengan menjadikan agama sebagai bahan becandaan yang mestinya tidak perlu, saling menghina dan merendahkan agama dan golongan lain dalam setiap perbicangan keseharian. Barangkali itulah potret kehidupan anak-anak sekolah saat ini karena terlalu sering disuguhi akan tontonan yang kurang sehat, yaitu menghina golongan lain sampai menggunakan keanarkisan untuk melawan perbedaan itu sendiri. Ditambah lagi di sekolahan mungkin mereka kurang diberikan pelajaran kehidupan tentang moral dan akhlak mulia. Pelajaran hanya sekedar hafalan buku semata yang minim akan ilmu terapan kehidupan.

Sahabat saya pun beragama berbeda dengan saya, namun kami tidak pernah mengganggu peribadatan masing-masing. Justru kami belajar banyak dari keberbedaan itu & sungguh menyenangkan untuk bisa menjadi pribadi yang berbeda dengan ketoleransian yang tinggi di tengah keberagaman.

Semoga sedikit tulisan saya ini dapat membuka pikiran dan sikap kita semua dalam bertindak untuk lebih menghargai perbedaan yang ada. Semoga perbedaan bukan menjadi sebuah alasan untuk menebar benih permusuhan.

So, kalau kita berbeda, lantas kenapa??
Mari bergandengan tangan dalam sebuah perbedaan yang menyatukan. Semoga  :-)

Senin, 29 September 2014

Pembelajaran berdemokrasi bagi pemilih pemula??? Haruskah???

Mumpung momentnya tepat, barangkali tulisan saya sedikit banyak akan membantu memberikan pencerahan dalam sebuah demokrasi yang sehat, khususnya bagi para pemilih pemula.

Belum lama ini, negara kita tercinta melaksanakan pesta demokrasi 5 tahunan, di mana masyarakat Indonesia melaksanakan pemilihan presiden. Begitu riuhnya suasana pencalonan, masa kampanye, saat pencoblosan, hingga penghitungan suara. Mungkin karena hanya ada 2 nama calon, sehingga kerap kali para pendukungnya berupaya menjatuhkan pasangan lawan satu sama lain.
Pesta demokrasi ini menjadi pelajaran berharga, khususnya bagi pemilih-pemilih pemula, usia anak SMA hingga anak kuliahan, mengenai bagaimana berdemokrasi secara baik dan benar.

Ada 3 hal proses pembelajaran yang mungkin bisa diambil oleh para pemilih pemula :
1) Sebuah proses demokrasi tentulah harus saling menghargai dan menghormati semua pasangan. Betapapun kita mungkin tidak senang dengan salah satu pasangan calon, tapi tentu saja bukan menjadi alasan untuk mencari cara menjatuhkan dengan hujatan, hinaan, maupun caci maki yang terlampau merendahkan. Sikap seperti itu tentulah justru akan menjadi bahan penilaian orang mengenai karakter seseorang. Kita akan semakin dapat menilai sejatinya sifat seseorang, apakah termasuk orang yang mudah tersulut dengan ontran-ontran yang kadang kala tidak jelas itu, ataukah termasuk orang yang mampu mengendalikan emosi secara baik.
2) Alangkah kurang bijaksana apabila calon pilihan kita ternyata tidak masuk kandidat dan kita memilih sikap untuk golput saja. Memang golput termasuk dalam hak azasi manusia, tapi dalam sebuah pelajaran demokrasi, kurang tepat apabila seseorang memilih untuk tidak memilih. Mungkin bagi sebagian orang akan beranggapan, "Kalau saya tidak memilih, tentulah tidak akan memberikan efek apapun, toh hanya 1 orang saja". Bayangkan apabila ada sekian ratus orang yang memiliki pikiran yang sama, tentulah akan semakin menyurutkan arti dari demokrasi itu sendiri. 1 suara begitu berharga ketika semua orang beranggapan yang sama untuk menyerukan "suara saya begitu berharga"
Lebih-lebih saya menghimbau untuk para pengajar bagaimana untuk terus mengajarkan siswanya untuk berdemokrasi secara lebih benar lagi. Apa jadinya negara ini ke depannya, apabila ada seorang pengajar yang justru (maaf) mengajarkan muridnya untuk golput saja. Dan ini harus menjadi pemikiran yang mendalam bagi semuanya saja. Selalu ada yang lebih baik menurut nurani kita, dan keputusan untuk memilih adalah sebuah penghargaan bagi loyalitas diri sendiri terhadap suatu institusi maupun negara (tergantung konteks pemilihannya).
3) Pelajaran yang terakhir adalah mengenai bagaimana untuk dapat bersikap legowo, menerima segala hal apapun yang telah menjadi hasil akhir dari sebuah pemilihan pimpinan. Sungguh tidak dibenarkan untuk siap menang tapi tidak siap kalah. Ketika ikut ambil bagian dalam sebuah pertarungan/perlombaan, mental yang harus dibawa adalah siap menang-siap kalah. Bagaimana mungkin dalam sebuah pertarungan akan menjadi pemenang semua, demikian sebaliknya, bagaimana mungkin sebuah pertarungan tidak ada pemenangnya. Mental ini memang harus ditanamkan sejak dari pemilih pemula. Jika hanya siap menang saja namun tidak siap kalah, alangkah lebih baiknya jika tidak usah ambil bagian dalam sebuah perlombaan/pertarungan tersebut. Lebih-lebih ketidaklegowoan itu mengakar hingga menjadi sebuah kebencian yang mendalam terhadap pemenangnya hingga terus mencari cara untuk menjatuhkannya lagi. Sebab lagi-lagi karakter asli seseorang akan semakin terlihat dari hal ini. Maka sudah sepatutnya untuk berjiwa besar dalam menerima kekalahan dan bersikap rendah hati ketika piala kemenangan berada di tangan kita.

Begitu banyak nilai kehidupan yang dapat diambil dari sebuah proses demokrasi. Besar harapan saya bagi para pemilih pemula untuk dapat lebih bijaksana dan dewasa lagi ketika berhadapan dengan sebuah pesta demokrasi, entah dalam lingkup kecil hingga lingkup pilpres.
Suara kita begitu berharga, berbesar hati ketika kalah, dan rendah hati ketika menang. Dengan begitu, pelajaran demokrasi bangsa ini akan semakin mendewasa. Semogaaaa :-)