HALAMAN

Selasa, 23 April 2013

Tendensi Uang dalam Dunia Pendidikan

Kehebatan suatu negara sebenarnya dilihat dari dua kacamata saja sudah cukup, yaitu pendidikan dan perekonomian. Tampaknya sederhana tapi justru kedua hal tersebut seperti sebuah lingkaran setan.
Sebuah negara miskin yang perekonomiannya begitu lemah hampir dapat dipastikan bahwa pendidikannya juga rendah. Namun untuk dapat melepaskan diri dari rantai keterpurukan bukanlah sebuah hal yang mudah. Ketika ingin menggerakkan pendidikan terlebih dahulu, tak bisa dipungkiri bahwa pendidikan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dan bagaimana hal tersebut dapat terwujud ketika perekonomian negara dalam keadaan yang terhimpit miskin. Namun ketika akan menggerakkan perekonomian terlebih dahulu, juga mesti ditunjang oleh manusia-manusia brilliant yang mumpuni di bidangnya. Nah, jelas kan bahwa ini terlihat seperti sebuah lingkaran setan. Maka tidaklah mengherankan jika sebuah negara miskin sangat sulit untuk keluar dari jerat kemiskinannya.

Lantas bagaimana dengan Indonesia ???
Mari saya ajak untuk melihat sekelumit kedua permasalahan tersebut.
Indonesia secara kasat mata dan konon ketika ditinjau dengan angka-angka statistik yang kerap kali "berkamuflase", Indonesia sebenarnya bukan termasuk negara miskin, bahkan bisa dikatakan sebagai negara berkembang. Indonesia mestinya mempunyai peluang untuk menjadi negara maju. Tapi apa kenyataannya ?? Hukum yang berlaku di negara ini adalah homo homini lupus yang artinya manusia merupakan srigala bagi manusia lain, manusia memakan manusia. 
Lihat saja dunia pendidikan negara ini, begitu parau dan parah kedengarannya. Peristiwa yang belum lama terjadi, yaitu keputusan MK untuk membubarkan RSBI/SBI. Ternyata proyek itu membuat kebakaran jenggot orang-orang yang menikmati keuntungan di dalamnya. Dan karuan saja sebuah proyek tentang SKM untuk mengganti baju RSBI sedang disiapkan. Para petinggi pendidikan tidak ingin kehilangan akal mengenai peristiwa ini.
Ujian nasional SMA yang carut marut menjadi simbol bahwa ternyata UN hanya sebuah proyek yang tak jelas juntrungannya mengenai tender pengadaannya oleh orang-orang yang disebut para petinggi itu.
Dan sebentar lagi kurikulum pun akan segera berganti. Meskipun sebenarnya masih banyak daerah-daerah di desa yang mungkin baru mau akan memulai kurikulum KTSP, eeee sudah mau diganti lagi. Sosialisasi telah dilakukan, tapi beranikah orang-orang yang ngakunya petinggi pendidikan itu memulai sosialisasinya dari sebuah sekolah yang berada di pedesaan atau bahkan di pedalaman. Barangkali mereka hanya akan memelotot tajam untuk sebuah usul saya yang seperti ini, karena memang terdapat tendensi uang dalam setiap kebijakan.
Mengenaskan memang. Belum lagi uang sertifikasi guru yang nyatanya justru semakin membuat otak para guru menjadi serakah, pemalas, dan tidak ada ketulusan di dalamnya. Saya beri contoh nyata, bagaimana mungkin seorang kepala sekolah yang barangkali pastinya sudah menerima sertifikasi sangat sering untuk membolos dan bermalas-malasan di rumah untuk sebuah alasan yang (menurut saya) sangat mengada-ada. Hanya mau menerima gaji+sertifikasi tapi sangatttttttt malasssssss untuk mengabdikan diri lagi mencerdaskan anak bangsa. Dan masih banyak lagi guru-guru yang ketulusan mengajarnya diragukan, atau mengajar asal-asalan, dan hanya mau terima gaji rutin tiap bulannya.
Saya hanya bisa mengelus dada dengan keprihatinan negeri ini. Tidak selayaknya pendidikan di Indonesia disejajarkan dengan melulu tendensi uang. Dan sungguh saya salut dengan para pengajar yang mengajar di sekolah pedesaan dan pedalaman, justru mereka-mereka inilah pengajar-pengajar sejati yang tidak punya tendesi apapun di luar ketulusan niatnya untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa ini.
Mari sama-sama merenung & berintrospeksi diri untuk lebih memajukan dunia pendidikan negara "tercinta" ini sehingga perekonomian pun boleh untuk semakin berkembang dengan satu konsep sederhana, yaitu perekonomian kejujuran dengan pendidikan yang tanpa tendensi apa pun di dalamnya. Semoga.